AMANAH
Oleh: Taum Puli AS.
Khutbah Jum’at, 13 Juni 2014
Amanah adalah istilah yang belakangan ini menjadi sangat populer karena selalu diucapkan oleh semua kalangan kelas sosial. Amanah diucapkankan yang kaya maupun yang miskin, yang yang di kota maupun yang di desa, yang memerintah maupun yang diperintah. Istilah yang sering dikorelasikan dengan kekuasaan dan materi. Itu sebabnya kita sering mendengar, “Si A tidak amanah?” Karena ia sedang berkuasa. Begitu juga, “Si B tidak amanah?” Karena ia mereduksi fungsi harta sehingga bermanfaat hanya untuk diri dan keluarganya saja.
Amanah juga menjadi istilah yang sangat ‘dahsyat’. Dia pernah di’tawar’kan kepada seluruh lapis langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi ketiganya menolak karena khawatir mengkhianatinya. Disebutkan dalam QS. Al Ahzaab,33: 72, “Sesungguhnya Kami telah memberikan amanah kepada langit (-langit), bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanah itu kepada manusia. Sesungguhnya manusia amat zhalim dan amat bodoh”.
Di ujung ayat di atas, Allah memberikan catatan besar untuk kita: “Sesungguhnya manusia amat zhalim dan bodoh”. Maknanya adalah Jika manusia zhalim dan bodoh dari wawasan pentingnya mengemban amanah dengan sebaik-baiknya maka sampai kapanpun kita tidak akan menjadi pribadi yang amanah.
Puncak dari amanah adalah Al Qur’an. Sementara dalam QS. Al Hasyr,59: 21, Allah menjelaskan, “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur’an ini di atas sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia, supaya mereka berpikir”.
Keterangan dalam ayat di atas begitu jelas. Bahwa jika manusia main-main dengan 30 Juz (baca: Al Qur’an), maka (gunung yang kuat dan kokoh saja akan hancur), manusiapun akan hancur. Sampai kapapun manusia tidak akan menjadi manusia yang amanah. Boleh jadi badannya sehat dan kuat, punya dokter spesialis jantung, paru-paru, ginjal, liver dan lain-lain siap mengawal kesehatannya tetapi hatinya mudah hancur. Hatinya tidak keluar sebagai satu kekuatan yang utuh. Kita mudah stres, gampang tersingggung, bisa terkena penyakit split personality (memiliki kepribadian ganda).
“Surat Cinta Allah” ini menuntun ‘peserta didik’nya dengan santun, “Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhamamad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS. Al Anfaal,8: 27).
Yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah “Apa faktor-faktor yang harus dipenuhi sehingga seseorang layak disebut sebagai pribadi yang amanah?” Paling tidak ada tiga, antara lain:
- Kejujuran,
Kita tidak akan mungkin disebut pribadi yang amanah kalau tidak jujur. Ada persesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Itu yang di bibir, itu yang di hati. Itu yang di lidah, itu yang terlihat di dalam prilaku hidup. Tidak di depan ‘ya’ tetapi di belakang lain bicara. Sikap yang tidak konsisten. Allah SWT melarang keras melalui QS. Ash Shaff,61: 2 – 3, “Wahai orang-orang yang beriman, “Mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak perbuat?” Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan!”.
Jika kita mendengar dan siap dibimbing oleh ayat ini, maka kita tidak mendengar lagi ada suami yang dengan mudah mengucapkan kata ‘thalaq’ kepada istrinya, tidak ada kasus sumpah palsu di pengadilan, ada produk hukum: yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Sehingga yang benar masuk Cipinang dan yang salah berkeliaran sehingga berpotensi membuat masalah-masalah baru. Tidak ada lagi angka yang ditulis di atas kuitansi yang berseberangan jauh dengan kenyataan proyek yang ada di lapangan.
Alangkah indahnya Republik ini kalau semua pemimpinnya jujur, dan yang dipimpinnya pun jujur. Pemimpinnya percaya kepada rakyatnya, rakyatnyapun percaya kepada para pemimpinnya. Kejujuran sangat dibutuhkan untuk membangun kepercayaan, peningkatan kinerja dan menciptakan relasi sosial yang harmonis. Dia dibutuhkan di rumah maupun di kantor, yang ber’ada’ maupun yang hidup dalam kepapaan, dalam kesendirian maupun di tengah keramaian. Di jengkal bumi manapun kita dituntut untuk jujur.
- Tidak menganggap apa yang dimiliki sebagai miliknya,
Mari kita bertanya kepada diri masing-masing, tentang apa yang kita miliki menjadi milik kita. Jangankan harta, rumah, mobil sejumlah keluarga, kavling tanah di mana-mana, job-job penting yang membuat orang segan dekat dengan kita, diri kita pun bukan milik diri kita.
Bukti otentiknya adalah bahwa kita bukan pengontrol langsung diri kita. Kalau badan ini milik kita, kita ingin menjadi remaja terus (tanpa tua). Nyatanya badan kita berubah di dalam ruang dan waktu. Saat kita tidur, jantung, paru-paru, ginjal tidur juga. Ternyata tidak! Kita sedang berada dalam genggaman Zat Yang Maha Mengendalikan, yaitu Allah SWT.
Dalam Kitab Jihaadun Nafs, karangan Ayatullah Muzhahiri, ada kisah menarik di zaman Rasulullah SAW. Seorang sahabat mempunyai istri yang manis dan solehah. Ia tidak bisa membaca dan menulis tapi ia seorang beriman yang sejati. Imannya memenuhi jantung dan hatinya. Keimanannya dibuktikan dalam kesabaran ketika menghadapi ujian, karena menganggap semuanya adalah amanah Allah.
Suatu hari anaknya itu sakit sementara suaminya sedang ke luar daerah untuk berdagang. Sakit anaknya semakin parah dan meninggal dunia. Istri itu duduk di samping anaknya dan menangis sejenak. Ia terjaga dari tangisannya. Ia menyadari sebentar lagi suaminya akan pulang. Ia berguman, “Kalau aku menangis terus menerus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan aku akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia akan pulang dalam keadaan lelah. Ia pun membaringkan anaknya yang sudah meninggal itu di atas tempat tidur kamarnya.
Saat suaminya pulang, ia menyambutnya dengan senyum ramah. Ia sembunyikan kesedihan dan ia sambut suaminya dengan mengajaknya makan. Suaminya berkata: “Mana anak kita yang sakit?” Istrinya menjawab, “Al Hamdulillah, ia sudah lebih baik. Istrinya tidak bohong karena anaknya sudah di surga, sedang dikelilingi oleh bidadari-bidadari surga. Tempat yang sangat indah, jauh lebih baik dari kehidupan di sini dan sekarang. Istrinya terus menghibur suaminya dan bersama mengarungi malam yang indah.
Menjelang subuh, suaminya hendak ke masjid untuk shalat berjama’ah bersama Rasulullah. Saat akan berangkat, istrinya mendekat sambil berkata, “Suamiku, aku ingin bertanya tentang sesuatu. Kalau ada seseorang menintipkan amanah kepada kita, lalu pada saat orang itu mengambil amanah tersebut dari kita, bagaimana pendapatmu kalau amanah itu kita tahan, kita tidak mau memberikan kepadanya?” Suaminya menjawab, “Sungguh aku menjadi suami paling durhaka di muka bumi!” Lalu istrinya berkata, “Sudah tiga tahun Allah menitipkan amanah kepada kita. Kemarin dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanah itu dari kita. Anak kita sudah meninggal dunia. Dia ada di kamarnya. Mari kita ke kamarnya. Suaminyapun berdo’a seperlunya, lalu ke masjid untuk shalat shubuh berjama’ah. Sampai di pintu masjid, beliau disambut Rasulullah dan menyampaikan pesan yang baru diterimanya dari Jibril; “Malam kalian berdua (suami-istri) tadi, penuh dengan rahmat Allah karena kalian berdua begitu tabah menghadapi ujian besar dari Allah. Rupanya rahmat Allah bukan ada pada malam itu saja, karena Allah menganugerahkan kepada keduanya 6 orang anak yang semuanya Penghafal Al Qur’an.
Kesadaran bahwa semua yang dimiliki adalah amanah, mampu mengantar suami sabar dalam pelukan istri, dan istri sabar dalam pangkuan suami. Siap menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam istilah modern, kedua suami-istri ini memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi. Biasanya keluarga seperti ini bisa bertahan lama.
- Tanggungjawab,
Salah satu konsekuensi dari amanah adalah tanggungjawab. Umar bin Khaththab adalah seorang khalifah (presiden) yang memegang teguh amanah. Dalam suatu kunjungan ke daerah, Beliau bertemu dengan seorang penggembala yang masih muda. Ia sedang menggembala ribuan ekor kambing. Umar menghampiri dan bertanya, Wahai penggembala, maukah engkau memberikan kepada saya seekor saja dari ribuan kambing yang engkau gembala? Penggembala menjawab, Tuan, ini bukan milikku, semua kambing ini milik majikanku. Aku diserahkan untuk memelihara dan bertanggungjawab penuh untuk amanah tersebut. Umar menggoda lagi, “Sampaikan kepada majikanmu bahwa yang seekor ini hilang karena dimakan oleh serigala!” Mendengar itu dengan mata yang berbinar-binar, anak muda ini balik bertanya kepada Umar, “Fa ainallah?” (Di mana Allah?!).
Sang penggembala sadar, bahwa yang ada di tempat itu hanya ada ia dan Umar. Terbuka peluang untuk dirinya melakukan kolusi (kerjasama negatif) dengan Umar tapi itu tidak dilakukannya karena sadar bahwa di jengkal bumi manapun ia berada, Allah selalu memantau gerak dan langkah hidupnya. Wahuwa ma’akum ainamaa kuntum (Di manapun kamu berada, Dia Allah akan selalu bersama kamu). Umarpun bangun dan menepuk-nepuk bahu anak muda itu dengan bangganya.
Inilah buah tertinggi dari seluruh pengalaman keberagamaan kita selama ini. Shalat, puasa, haji dan lain-lain mestinya harus berbuah manis seperti ini. Kalau pelanggaran demi pelanggaran masih menjadi bagian dari negeri ini, itu menjadi bukti bahwa keberIslaman kita sekarang masih pada tataran symbol, belum menyentuh substansi. Masih mengejar ritual belum sampai pada pengamalan secara maknawi. Maka apa yang kita kerjakan tanpa hikmah buat kita. Karena ritual yang kita tuju, maka Islam kita hanya pada fiqh belum menuju ma’rifatullah. Maka ketika ada yang mengamalkan berbeda dengan kita, kita gampang tidak tahan diri lalu menghujat, berantem, merasa Islamnya lebih benar dan lucunya: Itu dilakukan di dalam masjid.
Kalau ketiga faktor ini kita amalkan maka rumah tangga kita akan tenang. Masyarakat akan aman bahkan Republik ini akan damai, di bawah payung amanah yang menyejukkan. Semua kotoran sampah, yang sedang mengotori halaman bangsa kita dengan mudah kita bersihkan karena kita semua memiliki etos yang sama, “Menjadikan diri kita selalu amanah dalam hidup”. Semoga demikian. Allahu a’lam.
Disampaikan pada Khutbah Jum’at , 13 Juni 2014 di Masjid Agung At Tin, Komplek Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur